Sungguh indah
ikatan suci antara dua orang insan yang pasrah untuk saling berjanji
setia menemani mengayuh biduk mengarungi lautan kehidupan. Dari ikatan
suci ini dibangun keluarga bahagia, yang dipimpin oleh seorang suami
yang shalih dan dimotori oleh seorang istri yang shalihah. Mereka
mengerti hak-hak dan kewajiban mereka terhadap pasangannya, dan mereka
pun memahami hak dan kewajiban mereka kepada Allah Ta’ala. Kemudian lahir dari mereka berdua anak-anak yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla.
Cinta dan kasih sayang pun tumbuh subur di dalamnya. Rahmat dan berkah
Allah pun terlimpah kepada mereka. Inilah keluarga sakinah mawaddah wa
rahmah, samara kata orang. Inilah model keluarga yang diidamkan oleh
setiap muslim tentunya.
Tidak
diragukan lagi, bahwa untuk menggapai taraf keluarga yang demikian
setiap orang harus melewati sebuah pintu, yaitu pernikahan. Dan usaha
untuk meraih keluarga yang samara ini hendaknya sudah dimulai saat
merencanakan pernikahan. Pada tulisan singkat ini akan sedikit dibahas
beberapa kiat menuju pernikahan Islam yang diharapkan menjadi awal dari
sebuah keluarga yang samara.
Berbenah Diri Untuk Mendapatkan Yang Terbaik
Penulis ingin
membicarakan 2 jenis manusia ketika ditanya: “Anda ingin menikah dengan
orang shalih/shalihah atau tidak?”. Manusia jenis pertama menjawab “Ya,
tentu saja saya ingin”, dan inilah muslim yang masih bersih fitrahnya.
Ia tentu mendambakan seorang suami atau istri yang taat kepada Allah, ia
mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau shalihah.
Maka, jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan
pasangan yang shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang
yang shalih atau shalihah pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya: “Wanita-wanita
yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki
yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula”
[QS. An Nur: 26]. Yaitu dengan berbenah diri, berusaha untuk bertaubat
dan meninggalkan segala kemaksiatan yang dilakukannya kemudian menambah
ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan
manusia jenis kedua menjawab: “Ah saya sih ndak mau yang terlalu alim”
atau semacam itu. Inilah seorang muslim yang telah keluar dari fitrahnya
yang bersih, karena sudah terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan
sehingga ia melupakan Allah Ta’ala, melupakan kepastian akan
datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa neraka. Yang ada di
benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan menggapai kebahagiaan
akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah yang dikatakan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai orang yang enggan masuk surga. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?’. Beliau bersabda: “Yang taat kepadaku akan masuk surga dan yang ingkar terhadapku maka ia enggan masuk surga” [HR. Bukhari 6737]
Seorang istri
atau suami adalah teman sejati dalam hidup dalam waktu yang sangat lama
bahkan mungkin seumur hidupnya. Musibah apa yang lebih besar daripada
seorang insan yang seumur hidup ditemani oleh orang yang gemar
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya? Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Keadaan
agama seorang insan tergantung pada keadaan agama teman dekatnya. Maka
sudah sepatutnya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman
dekat” [HR. Ahmad 8065, Abu Dawud 4193. Dihasankan oleh Al Albani]
Bekali Diri Dengan Ilmu
Ilmu adalah
bekal penting bagi seseorang yang ingin sukses dalam pernikahannya dan
ingin membangun keluarga Islami yang samara. Ilmu yang dimaksud di sini
adalah ilmu agama tentunya. Secara umum, seseorang perlu membekali diri
dengan ilmu-ilmu agama, minimal ilmu-ilmu agama yang wajib bagi setiap
muslim. Seperti ilmu tentang aqidah yang benar, tentang tauhid, ilmu
tentang syirik, tentang wudhu, tentang shalat, tentang puasa, dan ilmu
yang lain, yang jika ilmu-ilmu wajib ini belum dikuasai maka seseorang
dikatakan belum benar keislamannya. Lebih baik lagi jika membekali diri
dengan ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits, tafsir al Qur’an, Fiqih,
Ushul Fiqh karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu adalah jalan menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [QS. Al Mujadalah: 11]
Secara khusus,
ilmu yang penting untuk menjadi bekal adalah ilmu tentang pernikahan.
Tata cara pernikahan yang syar’i, syarat-syarat pernikahan, macam-macam
mahram, sunnah-sunnah dalam pernikahan, hal-hal yang perlu dihindari,
dan yang lainnya.
Siapkan Harta Dan Rencana
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pernikahan membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk
dapat memenuhi beberapa kewajiban yang menyertainya, seperti mahar,
mengadakan walimah dan kewajiban memberi nafkah kepada istri serta
anak-anak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [HR. Ahmad 6527, Abu Dawud 1442].
Namun
kebutuhan akan harta ini jangan sampai dijadikan pokok utama
sampai-sampai membuat seseorang tertunda atau terhalang untuk menikah
karena belum banyak harta. Harta yang dapat menegakkan tulang
punggungnya dan keluarganya itu sudah mencukupi. Karena Allah dan
Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (mensyukuri
apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah
hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan
celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak
diberi ia marah” [HR. Bukhari 5955].
Disamping itu, terdapat larangan bermewah-mewah dalam mahar dan terdapat teladan menyederhanakan walimah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” [HR. Ahmad 23388]. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga, berdasarkan hadits Anas Bin Malik Radhiyallahu’anhu, ketika menikahi Zainab Bintu Jahsy mengadakan walimah hanya dengan menyembelih seekor kambing [HR. Bukhari 4770, Muslim 2569].
Selain itu
rumah tangga bak sebuah organisasi, perlu manajemen yang baik agar dapat
berjalan lancar. Maka hendaknya bagi seseorang yang hendak menikah
untuk membuat perencanaan matang bagi rumah tangganya kelak. Misalnya
berkaitan dengan tempat tinggal, pekerjaan, dll.
Pilihlah Dengan Baik
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius : nikah, cerai dan ruju’ ”
(HR. Abu Daud 2194). Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat
seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari
saja bahkan seumur hidup insya Allah. Jika demikian, merupakan salah
satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah
diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam
memilih pasangan hidup.
Kriteria yang
paling utama adalah agama yang baik. Setiap muslim atau muslimah yang
ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami
atau istri yang baik agamanya, ia memahami aqidah Islam yang benar, ia
menegakkan shalat, senantiasa mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya
serta menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik agamanya “Wanita
dikawini karena empat hal : ……. hendaklah kamu pilih karena agamanya
(ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [HR. Bukhari 4700, Muslim 2661]. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengancam orang yang menolak lamaran dari seorang lelaki shalih “Jika
datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka
nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi
fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” [HR. Tirmidzi 1005, Ibnu Majah 1957].
Selain itu ada beberapa kriteria lainnya yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih calon istri atau suami:
- Sebaiknya ia berasal dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat)
- Sebaiknya ia sekufu. Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab dan kemerdekaan dan kekayaannya
- Gadis lebih diutamakan dari pada janda
- Subur (mampu menghasilkan keturunan)
- Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan jika engkau pandang…” [HR. Ahmad 9281]
- Hendaknya calon istri memahami wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang ma’ruf
- Hendaknya calon istri adalah wanita yang mengaja auratnya dan menjaga dirinya dari lelaki non-mahram.
Shalat Istikharah Agar Lebih Mantap
Pentingnya
urusan memilih calon pasangan, membuat seseorang layak untuk
bersungguh-sungguh dalam hal ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa
bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala
agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Dan salah satu doa yang bisa
dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits
dari Jabir Radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan Al Qur’an” [HR. Bukhari].
Datangi Si Dia Untuk Nazhor Dan Khitbah
Setelah
pilihan telah dijatuhkan, maka langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor
adalah memandang keadaan fisik wanita yang hendak dilamar, agar keadaan
fisik tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk melanjutkan melamar
wanita tersebut atau tidak. Terdapat banyak dalil bahwa Islam telah
menetapkan adanya Nazhor bagi lelaki yang hendak menikahi seorang
wanita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika
salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat
apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” [HR. Abu Dawud 1783].
Namun dalam
nazhor disyaratkan beberapa hal yaitu, dilarang dilakukan dengan
berduaan namun ditemani oleh mahrom dari sang wanita, kemudian dilarang
melihat anggota tubuh yang diharamkan, namun hanya memandang sebatas
yang dibolehkan seperti wajah, telapak tangan, atau tinggi badan.
Dalil-dalil
tentang adanya nazhor dalam Islam juga mengisyaratkan tentang
terlarangnya pacaran. Karena jika calon pengantin sudah melakukan
pacaran, tentu tidak ada manfaatnya melakukan Nazhor.
Setelah bulat
keputusan maka hendaknya lelaki yang hendak menikah datang kepada wali
dari sang wanita untuk melakukan khitbah atau melamar. Islam tidak
mendefinisikan ritual atau acara khusus untuk melamar. Namun inti dari
melamar adalah meminta persetujuan wali dari sang wanita untuk
menikahkan kedua calon pasangan. Karena persetujuan wali dari calon
wanita adalah kewajiban dan pernikahan tidak sah tanpanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan keberadaan wali” [HR. Tirmidzi 1026]
Siapkan Mahar
Hal lain yang
perlu dipersiapkan adalah mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar
adalah pemberian seorang suami kepada istri yang disebabkan pernikahan.
Memberikan mahar dalam pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana
firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban” [QS.
An Nisa: 24]. Dan pada hakekatnya mahar adalah ‘hadiah’ untuk sang
istri dan mahar merupakan hak istri yang tidak boleh diambil. Dan
terdapat anjuran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah. Sebagaimana telah dibahas di atas.
Setelah itu
semua dijalani akhirnya sampailah di hari bahagia yang ditunggu-tunggu
yaitu hari pernikahan. Dan tali cinta antara dua insan pun diikat.
Belum Sanggup Menikah?
Demikianlah
uraian singkat mengenai kiat-kiat bagi seseorang yang hendak menapaki
tangga pernikahan. Nah, lalu bagaimana kiat bagi yang sudah ingin
menikah namun belum dimampukan oleh Allah Ta’ala? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”
[QS. An Nur: 33]. As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Yaitu menjaga diri
dari yang haram dan menempuh segala sebab yang dapat menjauhkan diri
keharaman, yaitu hal-hal yang dapat memalingkan gejolak hati terhadap
hal yang haram berupa angan-angan yang dapat dikhawatirkan dapat
menjerumuskan dalam keharaman” [Tafsir As Sa’di]. Intinya, Allah Ta’ala
memerintahkan orang yang belum mampu untuk menikah untuk bersabar
sampai ia mampu kelak. Dan karena dorongan untuk menikah sudah
bergejolak mereka diperintahkan untuk menjaga diri agar gejolak tersebut
tidak membawa mereka untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
juga menyarakan kepada orang yang belum mampu untuk menikah untuk
banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan untuk
bermaksiat [HR. Bukhari 4678, Muslim 2485]. Selama masih belum mampu
untuk menikah hendaknya ia menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat.
Karena jika ia lengah sejenak saja dari hal yang bermanfaat, lubang
kemaksiatan siap menjerumuskannya. Ibnul Qayyim Al Jauziyah memiliki
ucapan emas: “Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik,
pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109). Kemudian senantiasa berdoa agar Allah memberikan kemampuan untuk segera menikah. Wallahul Musta’an.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar untuk membangun blog kecil ini. terimakasih